Sabtu, 28 November 2009

Nikmati sajaa...

NIKMAT berarti segala sesuatu pemberian atau karunia (dari Allah), diantaranya berupa kesenangan (hidup). Kesenangan hidup merupakan bagian cerita (yang seakan-akan berdiri sendiri) dalam episode hidup manusia. Dan sebagian kita, memandang nikmat hidup itu, hanya berupa kebahagiaan dan kesenangan semata. Padahal, Allah SWT jelas-jelas menegaskan dalam Alquran bahwa sesuatu apapun yang diberikan-Nya itu adalah kenikmatan hidup di dunia (baca: QS. 42:36).
Betapa kasihannya bagi orang-orang yang kurang iman dan ilmu. Sehingga, hari demi hari yang dilalui dalam hidupnya selalu diliputi kesengsaraan yang datang silih berganti. Kecemasan dan kegelisahan merupakan salah satu indikasi hati manusia jauh dari ketentraman –membuat nikmat yang ada tidak lagi dirasakan sebagai nikmat.
Kita sependapat kalau dalam hidup ini begitu banyak hal yang tidak diinginkan, tiba-tiba datang menimpa. Permasalahannya, karena kita belum tahu ilmunya, perasaan pun semakin tertekan dan dapat ditebak akan berujung pada penderitaan. Tapi, bagi orang beriman dan tahu ilmunya, tentu hal itu akan diresponya secara bijaksana. Tepatnya, baginya setiap episode hidup selalu diposisikan untuk ibadah. Yakni apabila memperoleh kebahagiaan, dia bersyukur dan sebaliknya jika kesusahan menimpanya, dia bersabar dan tawakkal lagi berusaha menyempurnakan ikhtiar.
Menunggu Jodoh
Jodoh berarti pasangan hidup manusia yang sepadan; cocok; serasi; sesuai benar; kena benar; atau setuju (hatinya dsb). Berkait dengan ini, Allah berfirman dalam QS. Ar Ruum: 21,
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan bagi kamu pasangan dari jenis kamu sendiri agar kamu sakinah bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi kamu yang berpikir.”

Ayat di atas, mengajarkan kita agar berpikir, termasuk dalam menentukan pasangan (baca: jodoh). Di sini, ada makna rentang waktu antara menunggu jodoh dengan membangun keluarga sakinah bersama pasangan kita kelak. Menunggu jodoh ialah menantikan; mengharapkan (sesuatu yang mesti datang atau terjadi) terhadap pasangan hidup kita. Jadi, menunggu jodoh bukan berarti menunda jodoh untuk terlaksananya perkawinan.
Pada koridor itulah, kita seharusnya dapat menikmati episode menunggu jodoh sebagai ladang amal mempersiapkan membangun keluarga sakinah, sambil menunggu pasangan hidup kita. Pertanyaannya, apa saja yang perlu kita nikmati dalam menunggu jodoh itu?

Betapa banyaknya, dikalangan Muslim dan Muslimah yang tidak maksimal menikmati menunggu jodoh dengan melakukan hal-hal yang dapat mendukung dalam pembangunan keluarga sakinah yang akan dibentuknya dikemudian hari. Padahal, begitu banyaknya sisi-sisi keilmuan dan keteladanan yang perlu disusun membentuk bongkahan benteng yang siap menghadang serbuan virus-virus penyebar kebusukan dalam ikatan keluarga kita.

Episode menunggu jodoh, juga bukan berarti kita dengan seenaknya menikmati masa-masa itu dengan tergelincir dan tergoda oleh nafsu yang ada dalam dirinya, sehingga melanggar atau menjauh dari syariat yang diwajibkan-Nya. Yakni, pria maupun wanita hendaknya melalui episode menunggu jodoh –masa remajanya—dengan selalu waspada terhadap segala goda dan ujian setan. Rasulullah bersabda, “Wahai pemuda, barangsiapa diantara kamu sanggup membayar mas kawin dan memberi nafkah, hendaklah kawin, karena perkawinan dapat memelihara dirimu. Pemuda yang tidak sanggup kawin hendaklah berpuasa. Puasa itu dapat mematahkan syahwatnya.” (HR. Bukhari).


Berikut ini, hal-hal yang perlu dinikmati dalam episode menunggu jodoh sebagai peletak dasar dalam mempersiapkan bangunan keluarga sakinah.

1. Menikmati dalam membekali diri dengan ilmu-ilmu yang diperlukan/berkait dalam berumah tangga. Kebanyakan dari kita merasa kurang sekali dalam pembekalan yang satu ini. Padahal, ilmu sungguh merupakan modal kesuksesan yang patut kita kedepankan dalam hidup ini –termasuk dalam membangun rumah tangga--. Bukankah hal itu, bisa kita lakukan bila kita telah menikah? Ya, tindakan ini pun tidak salah. Tapi, alangkah tepat dan nikmatnya seandainya ilmu yang berkaitan dengan kerumah tanggaan itu sudah kita miliki jauh-jauh hari sebelum masa perkawinan. Dan tentu, hasilnya akan jauh lebih baik. Selain itu, bukankah ada sebuah kewajiban maupun kebajikan dalam pernikahan yang menuntut kita untuk memiliki ilmunya, sehingga kita bisa melaksanakan dengan baik dan tidak menyimpang. Misalnya, ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan (mengajarkan ilmu agama pada istri dan anak; menasehati istri; mengingatkan suami; dll) dan ilmu tentang bagaimana melakukan (mendampingi suami; menggauli istri/suami; melayani suami; mendidik anak; mengelola keuangan keluarga; dll).

2. Menikmati dalam mempersiapkan kemampuan memenuhi tanggung jawab suami/istri. Ada banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh mereka yang sudah menikah, sehingga kadangkala membuat sebagian orang takut menikah. Seorang suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri dan anaknya serta menyediakan tempat tinggal sesuai dengan kadar kesanggupannya. Berarengan dengan ini, tentu istri punya kewajiban (pula) untuk menerima tanggung jawab suami dengan hati terbuka. Yaitu tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang diluar kesanggupan untuk memberinya. Lebih-lebih jika ketidakrelaan seorang istri tersebut, membuat suami melakukan perbuatan mungkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Di sini, kuncinya tidak lain adalah pentingnya sebuah ilmu.

3. Menikmati dalam kesiapan menerima anak. Hal ini, tentu perlu dipersiapkan sejak dini bahwa seorang yang siap melangsungkan perkawinan maka sejalan dengan itu, ia harus pula siap untuk menerima kehadiran seorang anak.Lalu, apa yang perlu dinikmati dalam posisi menunggu jodoh berkait dengan kesiapan menerima kehadiran anak? Yaitu nikmatnya, bila kita mampu membangun keilmuan tentang bagaimana arti seorang anak, mendidik anak, perilaku perkembangan anak, psikologi anak, dll. Dampaknya, dikemudian hari tentu kita tidak menjadi kesal/kaget apabila menghadapi beberapa perubahan anak dalam perkembangn fisik dan tingkah lakunya, karena secara keilmuan kita telah mempersiapkannya.

4. Menikmati dalam membangun kesiapan psikis. Tanpa dipungkiri, kadangkala kita hanya membayangkan indahnya pernikahan, tanpa berusaha belajar untuk selalu siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak menjadi pasangan (jodoh) kita. Pada episode menunggu jodoh inilah, kita harus menikmati dengan membangun kesiapan psikis sebagai bekal kelak setelah menikah. Tepatnya, kesiapan psikis –menerima kekurangan pasangan kita—ini tidak berarti lantas kita leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan tersebut, sekalipun hal itu memang sepatutnya dimaklumi daripada dituntut untuk diperbaiki.

5. Menikmati dalam membekali kesiapan ruhiah. Dalam episode menunggu jodoh ini, tentu sangat nikmat kalau kita bekali dengan kesiapan ruhiah. Betapa tidak? Karena bila kesiapan ruhiahnya memang benar-benar baik (jernih), ia dapat membedakan antara hak Adami dan kewajiban kepada-Nya -–sesuai ajaran Islam—sehingga ia tetap dapat memilih.Dalam hal ini, al-Hasan bin Ali ra. memberitakan suatu ketika, seorang laki-laki berkata kepada cucu Nabi ini, “Saya mempunyai seorang putri. Jika ada yang berniat menikahinya, saya akan nikahkan dia.”Maka al-Hasan berkata, “Nikahkan putrimu dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah SWT. Jika ia menyukai putrimu, ia pasti akan memuliakannya. Jika ia sedang marah, ia tidak akan menzalimi putrimu.”Sungguh nikmatnya, bila kita memiliki kebersihan ruhiah dengan ketakwaan kepada-Nya, sikapnya akan tetap terkendali oleh ketakwaannya. Artinya, bila ia menyukai istri/suaminya, kecintaannya itu melahirkan sikap memuliakan.


Pada tataran demikian, kita sudah selayaknya menikmati episode menunggu jodoh dengan hal-hal yang mengantarkan pada terwujudnya keluarga sakinah. Sungguh ini sama sekali bukan kerugian, bukankah Allah telah berfirman, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) ….” (QS. An Nuur: 26).

Wallahu’alam bisshowab.

Selasa, 24 November 2009

Birrul walidain.....

Birrul Walidain merupakan kebaikan-kebaikan yang dipersembahkan oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya, kebaikan tersebut mencakup dzahiran wa batinan dan hal tersebut didorong oleh nilai-nilai fitrah manusia. Wajibatul walid (kewajiban orang tua) ialah orang tua berkewajiban mempersiapkan anak-anaknya agar berbakti kepadanya. Sabda Rasulullah "Allah merahmati orang tua yang menolong anaknya untuk bisa berbakti kepadanya".

Keutamaan-keutaman dari Birrul Walidain

1. Ahabul ‘amali illalahi ta'ala (amal yang paling dicintai disisi Allah SWT)
Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdir Rahman Abdillah Ibni Mas'ud ra "Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW amal apa yang paling di cintai disisi Allah?" Rasulullah bersabda " Shalat tepat pada waktunya". Kemudian aku tanya lagi "Apa lagi selain itu?" bersabda Rasulullah "Berbakti kepada kedua orang tua" Aku tanya lagi " Apa lagi ?". Jawab Rasulullah " Jihad dijalan Allah". Ini berarti diantara 2 amal yang paling dicintai Shalat tepat waktu dan jihad fisabilillah tidak berarti jika durhaka kepada orang tua. Ini dikisahkan bahwa Rasulullah pernah menolak salah seorang sahabat untuk berjihad dijalan Allah karena belum mendapat ridha orang tua. Akhirnya Rasulullah memperintahkan sahabat tsb untuk segera pulang memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuanya.

2. Laisajaza an min waladin ila walidih (Bakti kepada orang tua bukanlah merupakan suatu balas budi)
Seseorang anak tidak akan dapat membalas jasa kedua orang tua. Sebagaimana dalam hadist "Tidak akan dapat membalas seorang anak kepada orang tuanya melainkan anak itu mendapatkan orang tuanya sebagai hamba sahaya lalu dia membelinya kemudian memerdekakannya".

3. Al ummu hiya ahaqu suhbah (prioritas untuk mendapat perlakuan yang lebih dekat dari kedua orang tua ialah ibu)
Dikisahkan seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah "Siapakah yang lebih berhak diantara manusia yang paling harus aku perlakukan secara baik?" menjawab Rasulullah "Ibumu" Bertanyalah lagi sahabat tsb "Siapalagi Ya Rasulullah?" Menjawab Rasulullah "Ibumu" Bertanyalah lagi sahabat tsb "Siapalagi Ya Rasulullah?" Jawab Rasulullah "Ibumu" Bertanyalah lagi sahabat tsb "Siapalagi Ya Rasulullah?" Barulah Rasulullah menjawab "Bapakmu". Dalam Qs. 31:14 Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama pada ibunya yang telah mengandung dan menyusuinya.

4.Makruman bi ibadatillah (Berbakti kepada orang tua dibarengi dengan ibadah kepada Allah SWT)
Qs. Al Israa' ayat 23 Allah memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan berbuat baik kepada kedua orang tua melarang perkataan "ah" dan membentak kepada keduanya dan mengucapkan perkataan yang mulia. Ayat ini mengartikan bahwa berbakti kepada orang tua sama wajibnya dengan ibadah kepada Allah SWT.

Unsur-unsur Walidain
Seorang anak ketika ingin berbakti kepada kedua orang tuanya harus bersikap atau berakhlak yang terkait dengan unsur-unsur Birrul Walidain . Jika unsur-unsur tsb tidak terpenuhi maka hukukul walidain (durhaka kepada orang tua). Unsur-unsur Birrul Walidain yaitu:

1. Al muhaqodhotu alal kaul
Seorang anak hendaknnya menjaga dan memelihara ucapannya dihadapan orang tua, terlebih bagi mereka yang sudah berusia lanjut jangan sampai perkataan atau perbuatannya menyinggung perasaan mereka, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Qs.17 : 23.

2. Khofdul Jannah
Sikap bahasa tubuh seorang anak tidak boleh membusungkan dada terhadap orang tua melainkan merendahkan diri kepada keduanya dengan penuh kasih sayang dan mendoakan mereka agar keduanya dikasihi Allah sebagaiman mereka mengasihinya waktu kecil. Hal ini diperintahkan Allah SWT dalam Surat Al Israa' ayat 24.

3. Attoah Almushahabah
Akhlaq seorang anak yang taat dan kedekatan serta keakraban terhadap orang tua. Walaupun mungkin ketidaktaatan seorang anak kepada orang tua karena permasalahan yang sangat syar'i (prinsip) tetapi sikap mushahabah (keakraban) tetap harus dilakukan karena itu merupakan hak orang tua, Allah menjelaskannya dalam Qs. 31:15.

4. Sabatulbirri ba'da wafatihima
Tetap berkewajiban berbakti kepada orang tua setelah kedua meninggal dunia. Dalam surat An Anjm ayat 39-41 bahwa Allah SWT memberikan kesempatan kepada orang tua yang meninggal dunia masih memiliki simpanan amal kebaikan yang dapat diperoleh dari anak-anak yang sholeh dan sholeha. Dalam suatu hadist dikisahkan bahwa suatu ketika datang seseorang menghadap Rasulullah SAW kemudian berkata "Ya Rasulullah apakah masih ada kesempatan untuk berbakti aku kepada orang tuaku setelah keduanya meninggal dunia?" Rasulullah dengan tegas menjawab "Ya, masih ada". Ada 5 hal yang harus dijalankan setelah kepada seorang anak agar berbakti kepada orang tua yang telah meninggal :

a. Asshalatu ‘alaihima (berdo'a untuk keduanya)
b. Wal isthigfaru lahuma (memohonkan ampun keduanya)
c. Wainfadzu ahdihima (melaksanakan janji-janjinya)
d. Waiqramu shadiqihima (memuliakan teman-teman keduanya)
e.Wasilaturrahimmisilati latu shallu illa bihima (silaturrahmi kepada orang-orang yang tidak ada hubungan silaturahmi kecuali melalui wasilah kedua orang tua)

Kisah-kisah Para Nabi & sahabat Rasulullah SAW dalam mempraktekan Birrul Walidain
• Kisah Nabi Ibrahim As
Nabi Ibrahim As mempunyai ayah yang bernama Azar yang aqidah-nya berseberangan dengan Nabi Ibrahim As tetapi tetap menunjukan birrul walidain yang dilakukan seorang anak kepada bapaknya. Dalam menegur ayahnya beliau menggunakan kata-kata yang mulia dan ketika mengajak ayahnya agar kejalan yang lurus dengan kata-kata yang lembut sebagaimana dikisahkan Allah pada Qs. 19 : 41-45.
• Kisah Rasulullah SAW
Rasulullah SAW yang telah ditinggal ayahnya Abdullah karena meninggal dunia saat Rasulullah masih dalam kandungan ibunya Aminah. Dalam pendidikan birrul walidain ibunya mengajak Rasulullah ketika berusia 6 tahun untuk berziarah kemakam ayahnya dengan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanan pulang ibunda beliau jatuh sakit tepatnya didaerah Abwa hingga akhirnya meninggal dunia. Setelah itu Rasulullah diasuh oleh pamannya Abdul Thalib, beliau menunjukan sikap yang mulia kepada pamannya walaupun aqidah pamannya berbeda dengan Rasulullah. Dan Rasulullah berbakti pula kepada bibinya yang bernama Sofiah binti Abdil Mutthalib.
• Kisah Abu Bakar As Siddiq ra
Abu Bakar As Siddiq ra adalah sahabat Rasulullah SAW yang patut ditauladani dalam berbaktinya terhadap orang tua. Disaat orang tuanya telah memasuki usia yang sangat udzur, bukan hanya perkataan yang lemah lembut lagi mulia dan sikap yang baik melainkan juga beliau dapat mengajak bapaknya yakni Abu Khuwafah untuk beribadah kepada Allah SWT dan mengakui Islam sebagai pedoman hidupnya dan hal ini dinanti oleh Abu Bakar dengan cukup lama. Allah berfirman dalam QS 14 : 40 - 41 ayat yang do'a agar anak, cucu dan seluruh anggota keluarganya menjadi orang-orang yang muqiimas shalat (mendirikan shalat) dan diampuni dosa-dosanya. Ayat ini merupakan suatu kemuliaan yang diberikan Allah SWT kepada kelurga Abu Bakar As Siddiq ra.
• Kisah Sa'ad Bin Abi Waqas ra
Sa'ad bin Abi Waqas ra menerapkan bagaiman konteks Birrul Walidain mempertahankan keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Saat ibunya mengetahui bahwa Sa'ad memeluk agama Islam, ibunya mempengaruhi dia agar keluar dari Islam sedangkan Sa'ad terkenal sebagai anak muda yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Ibunya sampai mengancam kalau Sa'ad tidak keluar dari Islam maka ia tidak akan makan dan minum sampai mati. Dengan kata-kata yang lembut Sa'ad merayu ibunya " Jangan Kau lakukan hal itu wahai Ibunda, tetapi saya tidak akan meninggalkan agama ini walau apapun gantinya atau resikonya". Tidak bosan-bosannya Sa'ad menjenguk ibunya dan tetap berbuat baik kepadanya serta menegaskan hal yang sama dengan lemah lembut sampai suatu ketika ibunya menyerah dan menghentikan mogok makannya. Kisah ini juga merupakan asbabun nujul turunnya ayat Qs 31 : 15.

Ketika seorang anak berbakti kepada orang tua merupakan suatu bakti yang tidak hanya sekedar didunia tetapi juga di yaumil akhir.

Mencintai-Mu dan mu.....

Saling mencintai karena Allah SWT memang memiliki banyak sekali keutamaan, diantaranya adalah yang terdapat dalam hadits berikut :
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW, beliau bersabda: ”Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah SWT dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada lagi naungan Allah, mereka itu adalah (1) pemimpin yang adil, (2) pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, (3) seorang laki-laki yang hatinya digantungkan pada masjid, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah SWT, keduanya berkumpul dan berpisah atas dasar cinta Allah, (5) seorang lelaki yang diajak mesum oleh seorang wanita cantik dan menawan lalu ia berkata: ”sesungguhnya saya takut kepada Allah”, (6) seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan (7) seorang lelaki yang mengingat Allah dalam kesendirian maka kedua matanya mengucurkan air mata (HR Bukhari-Muslim)
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata : ”Rasulullah SAW bersabda:’sesungguhn ya Allah SWT berfirman pada hari kiamat :’dimanakah orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini aku menaungi mereka dengan naungan-Ku, hari yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Tirmidzi)
Dari Muadz ra, dia berkata: ”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ’Allah SWT berfirman : ”Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku bagi mereka adalah mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, hingga para Nabi dan orang syahid merasa iri kepada mereka.” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ”Hadits Hasan Shahih”)
Mencintai karena Allah SWT maksudnya adalah mencintai makhluq yang diridhai oleh Allah SWT dengan cara yang diridhai-Nya pula.

Makhluq yang diridhai oleh Allah SWT untuk dicintai itu misalnya Rasulullah SAW , para shahabat, ulama, orang tua, istri yang syah, anak-anak, fakir miskin, anak yatim dan saudara seiman. Mereka itu wajib dicintai karena mencintai mereka memang diperintahkan oleh Allah SWT. Inilah yang dimaksud dengan mencintai makhluq yang diridhai-Nya.

Sedangkan mencintai makhluq yang tidak diridhai-Nya, misalnya mencintai syetan, thoghut, berhala, tradisi jahiliyah peninggalan nenek moyang. Termasuk juga mencintai istri orang, selingkuhan atau mantan istri. Juga mencintai harta haram hasil korupsi, manipulasi, jabatan dan kedudukan. Mencintai makhluq yang tidak diridhai Allah SWT untuk mencintainya adalah cinta yang diharamkan.

Sedangkan mencintai dengan cara yang tidak diridhai Allah SWT adalah bila kita mencintai makhluq itu melebihi kecintaan kita kepada Allah SWT.
 
 
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa , bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya . (QS. Al-Baqarah : 165)

Cinta kita kepada apapun yang halal dan diridhai Allah SWT, tidak boleh melebihi cinta kita kepada Allah SWT sendiri. Bahkan sekedar sama derajatnya pun tidak dibenarkan. Jadi cinta kepada Allah SWT itu harus lebih tinggi dan lebih kuat dari pada cinta kepada lainnya.
Seorang ulama yang sangat alim dan faqih, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata di dalam kitab Al-Jawaabu liman Sa’ala ’anid Dawaa’isySyaafii : ”Cinta adalah kehidupan bagi hati dan nutrisi bagi ruh. Dengan demikian, hati tidak akan merasakan kelezatan, kenikmatan, kabahagiaan dan kehidupan kecuali dengan cinta. Seandainya hati kehilangan cinta maka deritanya akan lebih besar daripada mata yang kehilangan cahaya, telinga yang kehilangan pendengarannya, hidung yang kehilangan penciumannya, dan lidah yang kehilangan ucapannya. Bahkan petaka yang timbul karena rusaknya hatia apabila kehilangan cinta yang suci dan Tuhannya yang haq, lebih besar daripada rusaknya badan karena terpisah dari ruh. Masalah ini tidak diakui kecuali oleh orang yang merasakan kehidupan dengan cinta.”
Di dalam bukunya ”Hakadzaa Yablughu Al Hubb Bainahumaa, Daliiluka ila As-Sa’aadati Az-Zaujiyyati” (Beginilah Seharusnya Suami Istri Saling Mencintai), Al-Ustadz Fat-hi Muhammad Ath-Thahir Ghayati menjelaskan tentang tingkatan cinta sebagai berikut :
Cinta yang tertinggi, adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya. Cinta jenis ini menduduki rangking yang paling tinggi.
Cinta yang pertengahan, adalah cinta kepada orang tua, anak-anak, saudara, kerabat, dan cinta antara pasangan suami-istri. Cinta jenis ini merupakan cinta yang mulia, bersumberkan dari perasaan yang luhur lagi penuh dengan kesetiaan dan ketulusan. Cinta ini menduduki rangking yang kedua.
Cinta yang rendah, cinta jenis ini menduduki rangking yang ketiga. Sebagai contohnya ialah seperti sikap lebih memprioritaskan kecintaan kepada keluarga, kerabat, harta dn rumah daripada kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya. Sehubungan dengan cinta yang rendah ini digambarkan oleh Allah SWT melalui firmannya :
Katakanlah: "Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya" . dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah : 24)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim telah disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : ”Masih belum sempurna iman seseorang dari kalian sebelum diriku lebih ia cintai daripada hartanya, anaknya, dan seluruh manusia.”
Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Ad-Daa’u wad Dawaa’u: ”Cinta kepada wanita itu ada tiga bagian, salah satunya adalah cinta kepada wanita yang berarti ”taqarrub” (mendekatkan diri kepada Allah) dan ”thaa’at” (taat kepada Allah), yaitu cinta kepada istrinya. Cinta ini adalah cinta yang bermanfaat karena lebih mengarah pada maksud disyari’atkannya nikah oleh Allah SWT, disamping itu cinta jenis ini juga lebih bisa menahan pandangan dan hati terhadap selain istrinya. Oleh karena itu pencinta yang demikian itu terpuji dihadapan Allah dan manusia.”
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata, ”Bagian ketiga dari cinta adalah cinta yang diperbolehkan, seperti cinta seseorang kepada wanita yang cantik atau ia melihatnya tanpa disengaja lalu hatinya terkait padanya tetapi tidak menimbulkan maksiat. Maka orang tersebut tidak berdosa karena cintanya. Namun yang lebih baik baginya adalah menepisnya dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih berguna. Ia harus menyembunyikan, menjaga kehormatan, dan bersabar atas bencana yang menimpanya, niscaya Allah memberinya pahala dan ganti atas kesabaran serta penjagaan terhadap kehormatannya karena Allah.”
Ibnul Qayyim juga telah berkata tentang cinta, ”Cinta yang terpuji termasuk dalam cinta yang bermanfaat, yaitu cinta yang bisa membuat orang yang merasakannya melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhiratnya. Cinta seperti ini adalah pertanda kebahagiaan. Sedangkan cinta yang berbahaya adalah cinta yang membuat orang yang bersangkutan malakukan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan dunia dan akhiratnya dan hal ini adalah tanda kesengsaraan.”
Bukti kita mencintai karena Allah SWT antara lain disebutkan dalam hadits berikut: Sebaigamana disebutkan dalam sebuah hadits. Dari Abu Hurairah ra dia berkata: Rasulullah SAW bersabda ”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman dan kamu tidak akan beriman (secara sempurna) hingga kamu saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu, yang apabila kamu melakukannya niscaya kamu bisa saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam diantara kalian semua.” (HR.Muslim)
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW, bahwasanya ada seorang laki-laki mengunjungi seorang saudaranya (seagama) yang berada di desa lain. Maka Allah SWT mengutus satu malaikat yang menghadang perjalanannya. Maka ketika ia sampai kepadanya ia bertanya: ”Hendak kemana kamu?” Orang itu menjawab:”Saya menginginkan saudara saya di desa ini.” Dia bertanya lagi: ”Apakah kamu berhutang budi kepadanya sehingga sekarang kamu ingin membalas kebaikannya?” dia jawab ”Tidak, aku hanya mencintainya karena Allah SWT.” Maka dia berkata: ”Sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah SWT kepadamu (untuk menyampaikan) bahwa Allah telah benar-benar mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.” (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah ra dia berkata: ”Rasulullah SAW bersabda: ’Barangsiapa menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya di jalan Allah maka ia dipanggil oleh pemanggil: ’Sangat bagus kamu dan sangat baik perjalananmu dan kamu mengambil satu tempat di Surga.”  (HR. Tirmidzi, dia berkata ‘Hadits hasan dan disebagian naskah, gharib)
Dari Abu Karimah Al-Miqdad Ibn Ma’di Karib ra. Dari nabi SAW beliau bersabda: ”Apabila seseorang mancintai saudaranya (seagama) maka hendaklah memberitahukan kepadanya bahwa ia mencintainya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia mengatakan ‘Hadits Shahih’)
Dari Anas ra, bahwasanya ada seseorang laki-laki berada di samping Nabi SAW lalu seseorang melewatinya dan dia berkata: “Wahai Rasulullah saya sungguh mencintai orang ini. Maka Nabi berkata kepadanya: ”Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya? Dia jawab: ”Tidak.” Beliau bersabda: ”Beritahukan kepadanya.” Maka ia segera mengejarnya, lalu berkata kepadanya, ’Aku mencintaimu karena Allah,’ maka ia menjawab: ’Semoga engkau dicintai oleh Allah yang engkau telah mencintaiku karena-Nya.” (HR Abu Daud dengan sanad shahih)
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,

Rabu, 18 November 2009

like cotton....

Ringaaaaaaaaaaannnn buangeeeeettttttt.....
tinggal tempelin sayap terbang dweh...(emang barang...:P)
hee...
thengkyu Allah....